Tipologi Tindak Pidana Korupsi | SUGALILAWYER.COM - SUGALILAWYER.COM
Menu
Punya Masalah Hukum ?....Konsultasikan Dengan Kami Via WhatsApp Service 081312033333

Tipologi Tindak Pidana Korupsi

Mar
10
2022
by : Sugali, SH, MH. Posted in : Blog, Hukum Pidana

tipologi tindak pidana korupsi

Tipologi Tindak Pidana Korupsi

Tipologi korupsi menurut Syed Hussen Alatas di bagi dalam tujuh jenis yang berlainan, masing-masing adalah :[1]

 

  1. Korupsi Transaktif (transactive corruption)

Korupsi transaktif menunjukan kepada adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintah, atau masyarakat dan pemerintah.

 

  1. Korupsi yang memeras (extortive corruption)

Jenis yang memeras adalah jenis korupsi dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan hal-hal yang dihargainya.

 

  1. Korupsi investif (investive corruption)

Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan atau diperoleh dimasa yang akan datang.

 

  1. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption)

Korupsi perkerabatan atau nepotisme, adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku.

 

  1. Korupsi defensif (defensive corruption)

Korupsi defensif adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan. Korupsinya dilakukan dalam rangka mempertahankan diri. Contoh : ada cerita, bahwa Alexander Herzen, seorang revolusioner Rusia yang terkenal, terlibat dalam penyuapan dan menganggap perbuatan seperti ini mempunyai segi baik, dengan menyatakan bahwa hanya melalui penyimpangan serupa itulah orang dapat mempertahankan hidup di Rusia. Setelah diselidiki, ternyata Herzen tidak memberi uang suap. Orang yang memberi uang suap adalah seorang yang berasal dari desa ayah Herzen. Orang ini menghadapi kesulitan karena seorang pangeran memerintahkan agar ia dihukum karena memberi uang suap. Herzen berusaha menolongnya dan berhasil membatalkan hukuman itu. Herzen menyetujui penyuapan defensif para petani, karena seluruh birokrasi pada tahun 1830-an dan 1840-an, masa meluasnya korupsi. Situasi Rusia yang serba korup, menjadikan penyuapan defensif oleh para petani sebagai suatu hal yang perlu. Korupsi yang dilakukan oleh keseluruhan sistem itulah yang tidak pernah membantu memajukan umat manusia.

 

  1. Korupsi otogenik (autogenic corruption)

Korupsi yang dilakukan oleh seseorang seorang diri. Brooks mencetuskan subjek yang ia sebut auto corruption. Ini adalah suatu bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang saja. Contoh yang diberikan oleh Brooks ialah : seorang anggota dewan perwakilan yang mendukung berlakunya sebuah Undang-Undang tanpa menghiraukan akibat-akibatnya, dan kemudian memetik keuntungan finansial daripadanya, karena pengetahuannya perihal Undang-Undang yang akan berlaku itu. Misalnya ketika suatu kawasan dinyatakan sebagai wilayah pembangunan, pengetahuan yang lebih dahulu diperoleh oleh anggota dewan yang ikut mengambil keputusan itu, memungkinkan ia membisikan kepada teman-temanya diluar agar membeli tanah di kawasan tersebut, karena harganya niscaya akan naik pada waktu keputusan diumumkan. Contoh lain mengenai korupsi seperti itu ialah pembuatan laporan pembelanjaan yang tidak benar. Di sini pun perbuatan itu seringkali tidak sepenuhnya dilakukan seorang diri. Seringkali ada saling pengertian secara diam-diam diantara para pejabat pemerintahan atau pegawai perusahaan yang melakukan pemalsuan seperti itu dan membiarkan peristiwa itu dan membiarkan peristiwa ini terus berlangsung.

 

  1. Korupsi dukungan (supportive corruption)

Korupsi jenis ini tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain. Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada. Intrik dan kasak-kusuk para pembesar didalam mesin politik Amerika Serikat merupakan contoh yang tepat, seperti misalnya menyewa penjahat untuk mengusir para pemilih yang jujur dari tempat pemungutan suara; dibiarkannya terjadinya huru-hara oleh para Walikota atau Gubernur karena takut kehilangan suara dalam pemilihan; menghambat pejabat yang jujur dan cakap agar tidak menduduki posisi strategis dan bahkan dari keinginan untuk menegakkan pemerintahan yang bersih sebagai taktik dalam pemilihan umum sehingga khalayak lepas dari pengaruh mereka.

 

Secara substansial, gejala korupsi selalu dari jenis pemerasan dan transaktif, selebihnya berkisar di kedua jenis tersebut dan merupakan hasil sampingan. Jenis korupsi pemerasan dan transaktif itulah yang menggerakkan mesin penindasan dan kekezaman di dalam sistem. Apabila semua pengejawantahan korupsi yang empiris dalam bentuk barang, jasa dan transaksi dipisahkan dari gejalanya, maka yang tinggal adalah ciri-cirinya yang hakiki: penipuan, pencurian, pengkhianatan. Inti korup yang hakiki ini meluas ke segenap segi kehidupan dalam masyarakat yang terlanda korupsi. Hal ini mendorong munculnya ideologi korupsi yang muncul sejak permulaan zaman modern. Korupsi dinilai sebagai dinamis, positif dan konstruktif. Ini disamakan dengan menginduksi arus dalam ilmu listrik. Para politisi ibarat insinyur listrik, sedangkan pemerintah adalah dinamonya. Korupsi adalah arus untuk menggerakkan dinamo itu.

 

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi, mengenal tipologi tindak pidana korupsi, sebagai berikut:[2]

  1. Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau taklangsung merugikan;
  2. keuangan atau perekonomian negara atau daerah merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelongaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat;
  3. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena mela. kukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan vang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan;
  4. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai 21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

 

Tipologi tindak pidana korupsi yang secara yuridis tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (Lembaran Negara Nomor 17 TLN Nomor 2958), terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan dihukum karena tindak pidana korupsi:[3]

  1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, yang secara langsung atau taklangsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
  2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
  3. Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 209, 210, 378, 388,415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP;
  4. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
  5. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

 

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat 5 tipologi Korupsi dengan sub a sampai dengan b yaitu:[4]

  1. Tipe pertama terdapat dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
  2. Tipe kedua terdapat dalam ketentuan Pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai berikut: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan neg. atau perekonomian negara, dipidana dengan pida penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta) rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)”.
  3. Tipe ketiga terdapat dalam ketentuan Pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 merupakan Pasal-Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP kemudian ditarik menjadi Tindak Pidana Korupsi. Apabila dikelompokkan, korupsi tipe ketiga dapat dibagi menjadi 4 (empat) pengelompokan, yaitu:

1)  Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni Pasal 209, Pasal 210,   Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420 KUHP Ketentuan Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420 KUHP ditarik menjadi Pasal 5,6,11,12, dan 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dalam pandangan doktrin Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, ketentuan Pasal 209 dan Pasal 210 atau Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dikategorisasikan ke dalam penyuapan aktif (Aktieve Omkoping) dan ketentuan Pasal 418 KUHP, Pasal 419 KUHP dan Pasal 420 KUHP, Pasal 12a dan Pasal 12b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ke dalam penyuapan pasif (Passieve Omkoping). Ketentuan Pasal 209 KUHP (pemberi suap) berpasangan dengan ketentuan Pasal 418 KUHP dan Pasal 419 KUHP (Pegawai Negeri yang menerima suap). Sedangkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 210 KUHP (memberi suap kepada Hakim dan Advokat) berpasangan dengan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 420 KUHP (Hakim dan Advokat yang menerima suap) terhadap perkara yang ditanganinya.

 

2) Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan, yaitu Pasal 415, 416 dan Pasal 417 KUHP Pada dasarnya, penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan ke dalam Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam ketentuan Pasal 8, 9, dan 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebagai berikut: Pasal 8 menyebutkan dipidana dengan pidana penjara/ paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut; Pasal 9 menyebutkan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi; dan Pasal 10 menyebutkan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:

  1. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, Surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang yang dikuasai karena jabatannya; atau
  2. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
  3. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

 

3) Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan (Knevelarij, Extortion) yakni Pasal 423 dan 425 KUHP. Terhadap penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan (Knevelarij, Extortion) diatur dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

 

4) Penarikan perbuatan yang berkorelasi dengan pemborongan, leveransir dan rekanan, yakni Pasal 387, 388 dan 435 KUHP. Aspek ini diatur lebih detail dalam ketentuan Pasal 7 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Tipe keempat adalah tipe korupsi percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat, serta pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang lain di luar wilayah Indonesia (Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). Konkretnya, perbuatan percobaan/paging sudah diintrodusir sebagai Tindak Pidana Korupsi karena perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi, percobaan melakukan tindak pidana korupsi dijadikan delik tersendiri dan dianggap selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, meskipun baru merupakan tindakan persiapan sudah dapat dipidana sebagai tindak pidana tersendiri. Pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang di luar wilayah Indonesia, bahwa pemberian bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan dalam ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan tujuan pencantuman konteks ini adalah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antarnegara dapat dicegah secara optimal dan efektif.

 

5) Tipe kelima berupa tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu:

  1. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau taklangsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi;
  2. Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;
  3. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422 Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  4. Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

 

[1] Prayitno iman santoso, op.cit., hlm.106-108.

[2] Ibid, hlm.109-110.

[3] Ibid, hlm.110-111.

[4] Ibid, hlm.111-116.

artikel lainnya Tipologi Tindak Pidana Korupsi

Thursday 10 March 2022 | Blog, Catatan Hukum

Profesi Hakim di Pengadilan – Secara formal, hakim memegang posisi yang sentral dalam dunia peradilan. Di…

Saturday 9 April 2022 | Blog

Pengertian Mediasi – Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak…

Monday 11 February 2019 | Blog

Proses Acara Gugatan Gugatan harus diajukan dengan surat gugat yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya yang…

Monday 25 November 2019 | Blog

Pelantikan DPC APPI CIREBON RAYA – Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia (DPN APPI) kembali…

Jl. Galaksi 1 No. 8 LobuntaLand, Banjarwangunan, Mundu, Cirebon JAWA BARAT 45173
0231-8512010
081312033333
sugalilawyer@gmail.com