keterbatasan hukum pidana

Keterbatasan Hukum Pidana, bahwa upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan sarana yang hampir selalu digunakan dalam menghadapi kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat. Hampir setiap peraturan perundang-undangan mencantumkan ketentuan pidana di dalam formulasinya. Hukum pidana tidak selalu dapat menjadi jalan keluar dalam menanggulangi kejahatan. Hal ini disebabkan hukum pidana itu sendiri memiliki keterbatasan.

 

Barda Nawawi Arief mengidentifikasikan sebab-sebab keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan sebagai berikut:[1]

  1. Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana;
  2. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub-sistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan
  3. sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural, dan sebagainya);
  4. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahahatan hanya merupakan “kurieren am symptom”. Oleh karena itu, hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan merupakan “pengobatan kausatif”;
  5. Sanksi pidana merupakan “remidium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif;
  6. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional;
  7. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif;
  8. Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”.

 

Mengingat keterbatasan tersebut, maka penggunaan sarana penal dalam menanggulangi kejahatan hendaknya dilakukan dengan melalui pertimbangan yang matang.[2] Dalam menggunakan sarana penal, Nigel Walker pernah mengingatkan adanya “prinsip-prinsip pembatas” (the limiting principles) yang sepatutnya mendapat perhatian, antara lain:[3]

  1. Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan;
  2. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan;
  3. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana yang lebih ringan;
  4. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri;
  5. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah;
  6. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.

 

Lebih lanjut Jeremy Bentham pernah menyatakan bahwa janganlah pidana dikenakan/digunakan apabila “groundless, needless, unprofitable, or inneficacious”. Herbert L. Pecker juga pernah mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak pandang bulu/ menyamaratakan (“indiscriminately”) dan digunakan secara paksa (“coercively”) akan menyebabkan pidana itu menjadi suatu “pengancam yang utama” (“prime threatener”).[4]

 

Dari uraian di atas maka, penggunaan sarana penal dalam menanggulangi kejahatan hendaknya dilakukan dengan penuh pertimbangan. Selain itu juga, perlu dipertimbangkan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan sosial, kebijakan pembangunan nasional, bagian dari kebijakan kriminal yang juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum, karena menanggulangi kejahatan dengan sarana penal merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan.

 

[1] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 2005, hlm.125.

[2] Ibid, hlm.75.

[3] Barda Nawawi Arief, Ibid., hlm. 76.

[4] Ibid, hlm.165.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply