Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sengketa adalah merupakan perbedaan kepentingan antar individu atau lembaga pada objek yang sama yang dimanifestasikan dalam hubungan-hubungan di antara mereka. sengketa antar individi dengan individu, sengketa antar individu dengan badan hukum atau lembaga selalu kita jumpai pada setiap masyarakat di dunia, baik pada masyarakat yang masih bercorak tradisional, masyarakat modern bahkan masyarakat pasca modern yang mempunyai kaitan dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan atau lebih tepatnya dengan hukum sebagaimana banyak mendapat perhatian dari para pengkaji “hukum dan masyarakat” (Law and Society), Antrapologi Hukum (Legal Anthropology), dan Hukum Bisnis (Business Law).
Penyelesaian sengketa di Pengadilan bukan sesuatu yang buruk sehingga tidak ada perbuatan main hakim sendiri atau merasa paling benar. Pengadilan adalah pranata menyelesaikan damai (sebagai jalan dari tindakan kekerasan). Menyerahkan sengketa ke Pengadilan, selain memilih jalan damai juga sebagai penolakan penyelesaian dengan menghakimi sendiri (eigen richting). Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan sebagai bentuk penyelesaian secara hukum yang bersifat netral (tidak memihak). Pengalaman nyata menunjukkan penyelesaian melalui Pengadilan tidak selalu memberi rasa keadilan, selain ongkos, waktu, reputasi dan lain-lain, tidak jarang dijumpai begitu banyak rintangan dalam menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan, misalnya biaya jasa advokat yang mahal, pelaksanaan eksekusi yang tidak mudah dan pastinya membutuhkan dana yang tidak sedikit dalam proses lelang sampai dengan pemulihan hak.
We strive to offer the best prices on the market, providing an exceptional combination of quality fake rolex for sale
Selain itu, mungkin saja putusan tidak memuaskan, sehingga harus melakukan upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali, suatu kemenangan yang telah ditetapkan itupun belum tentu secara cepat dapat dinikmati karena berbagai hambatan seperti hambatan eksekusi. Bahkan ada kemungkinan ada perkara baru, baik dari pihak yang kalah atau dari pihak “berkepentingan” lainnya. Dalam keputusan seperti itu, putusan Pengadilan sekedar sebagai putusan, tetapi tidak berhasil menyelesaikan sengketa. Berbeda dengan penyelesaian sengketa di luar peradilan seperti mediasi, bukan semata-mata mencapai putusan, tetapi putusan yang menyelesaikan sengketa secara final.
Asas sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan salah satu asas yang telah digariskan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Untuk mewujudkan asas tersebut Mahkamah Agung sebagai penyelenggara peradilan tertinggi di Indonesia mulai memperkenalkan beberapa cara atau prosedur guna mempersingkat proses penyelesaian sengketa di pengadilan yang dapat memberikan hasil lebih optimal. Salah satu gagasan yang cukup membawa angin segar antara lain dengan dioptimalkannya lembaga mediasi pada perkara-perkara perdata baik di pengadilan negeri maupun pengadilan agama.
Mediasi merupakan salah satu alternative penyelesaian sengeketa (ADR) yang menggunakan pendekatan win-win solution dengan proses dan cara yang lebih sederhana dalam rangka memberikan akses keadilan yang lebih memuaskan kepada para pihak pencari keadilan dengan bantuan seorang mediator sebagai penampung dan penyalur aspirasi dalam upaya menemukan penyelesaian sengketa yang terbaik bagi kedua belah pihak.
Diperkenalkan dan dimasukkannya mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu alat efektif mengatasi problem penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga non-peradilan untuk penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus, sehingga dengan tercapainya kesepakatan perdamaian diharapkan dapat menyelesaikan konflik kedua belah pihak yang bersengketra secara final dan mengikat.
Dasar Hukum Mediasi atau Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan.
Berikut ini adalah beberapa landasan yuridis upaya damai pada lembaga peradilan hingga diwajibkannya mediasi dalam setiap penyelesaian perkara perdata di Indonesia:
- Pancasila dan UUD 1945, dalam filosofinya dikatakan bahwa asas penyelesaian sengketa adalah musyawarah dan mufakat.
- HIR pasal 130 (Pasal 154 RBg = Pasal 31 Rv)
- UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Pasal 39, UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama jo, UU Nomor 3 Tahun 2006 jo, UU Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama Pasal 65 dan 82, PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Perkawinan Pasal 31 dan KHI Pasal 115, 131 ayat (2), ayat (1) dan (2), dan 144.
- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga perdamaian (Pasal 130 HIR/154 RBg).
- Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, Nomor 1 Tahun 2008, Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
- Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, penjelasan pasal 3 menyatakan: “Penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit tetap diperbolehkan”.
- Mediasi atau APS di luar Pengadilan diatur dalam Pasal 6 UU Nomor. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.