Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Sejarah Pengaturan Korupsi di Indonesia –  Langkah-langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan perundang-undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut:[1]

 

  1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari: Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
  2. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).
  3. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.
  4. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.
  5. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut.
  6. Masa Undang-Undang Nomor  24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang-Undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut Pasal 96 UUDS 1950, Pasal 139 Konstitusi RIS 1949.20 Undang-Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961.
  7. Masa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  8. Masa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Di dalam Pasal tersebut dinyatakan; “ Ketentuan- ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh Undang- Undang ditentukan lain.” Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengatur lain daripada yang telah diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi Generali).

 

Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang-undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP. Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang-undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Secara substansi Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit. Undang-Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan.

 

Bahkan, dalam segi pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, Undang-Undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama dengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset-aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan diuntungkan dengan penanda tangan konvensi ini. Salah satu yang penting dalam konvensi ini adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.[2]

 

[1] Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999), Mandar Maju, Bandung 2001, hlm.13-20.

[2] Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta, 2008, hlm. 49-50.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply