Penjatuhan Sanksi Pidana Korupsi UU Tipikor

Penjatuhan Sanksi Pidana Korupsi Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tipikor.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang tersebut, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

 

1. Pidana Mati

Berdasarkan Pasal 69 KUHP, UUPTPK maupun berdasarkan hak tertinggi manusia pidana mati adalah pidana terberat karena pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup manusia yang merupakan hak asasi manusia yang utama. Selain itu, tidak dapat dikoreksi atau diperbaiki eksekusi yang telah terjadi apabila dikemudian hari ditemukan kekeliruan. Untuk itu hanya perbuatan pidana yang benar-benar berat yang diancam oleh pidana mati. Dan setiap Pasal yang mencantumkan pidana mati selalu disertai alternatif pidana lainnya sehingga hakim tidak disertai merta pasti menjatuhkan hukuman mati kepada pelanggar Pasal yang diancam pidana mati.[1] Misalnya pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana sementara paling lama 20 tahun sebagaimana tercantum dalam Pasal 340 KUHP, prinsip ini juga diikuti Undang-Undang lain termasuk UUPTPK.[2] Di dalam UU No.31 Tahun 1999 hanya terdapat tindak pidana yang diancam mati yaitu Pasal 2 ayat 2  Pidana mati di sini dapat diancam apabila tindak pidana yang diatur pada ayat 2 beserta penjelasannya. Keadaan tertentu dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat 2 UUPTPK yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi atau moneter.

 

2. Pidana Penjara

Merupakan perampasan kemerdekaan yang merupakan hak dasar diambil secara paksa. Mereka tidak bebas pergi ke mana saja dan tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial sesuai yang ia kehendaki. Namun, waktu pemidanaannya dipergunakan demi kepentingan reclassering (Pemasyarakatan atau pembinaan). Pengaturan pidana penjara menurut KUHP adalah sebagai berikut:

  1. Seumur hidup (tanpa minimal atau maksimal).
  2. Sementara dengan waktu paling pendek satu hari dan paling lama 15 tahun sesuai Pasal 12 ayat 2 KUHP. Pidana penjara dapat melewati batas maksimum umum yaitu 15 tahun menjadi hingga 20 tahun dalam hal:
  3. Hakim boleh memilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara 20 tahun.
  4. Hakim boleh memilih antara pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara 20 tahun.
  5. Ada pemberatan umum yaitu, concursus/ pembarengan yang diatur dalam Pasal 65 hingga Pasal 70, reseidve/ pengulangan yang diatur dalam Pasal 486 hingga Pasal 488, Pasal 52 mengenai pengalahgunaan wewenang jabatan, dan Pasal 52a tentang menyalahgunakan bendera RI.
  6. Ada pemberatan khusus, seperti Pasal 355 jo Pasal 356 mengenai penganiayaan seorang anak terhadap ibu kandungnya.

Semua tindak pidana yang diatur dalam UUPTPK, diancam dengan pidana penjara baik penjara seumur hidup maupun sementara. Pidana penjara seumur hidup terdapat dalam Pasal 2 ayat 1,3,12,12B ayat 2. Pidana penjara sementara diancam dengan batas maksimum dan batas minimum. Batas minimum ditentukan dalam Pasal-Pasal dalam Undang-Undang ini sebagai salah satu upaya dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Pidana penjara sementara berkisar antara 1 tahun hingga 20 tahun. Pidana 20 tahun sebagai alternatif penjara seumur hidup.

 

3. Pidana Tambahan

  1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
  2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
  3. Penuntupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 tahun.
  4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak- hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
  5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
  6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

 

4. Gugatan Perdata kepada ahli warisnya

Dalam hal ini terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.

 

5. Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh atas nama suatu korporasi

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3. Penjatuhan pidana ini melalui prosedural ketentuan Pasal 20 ayat 1-66 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah sebagai berikut:

  1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi atau pengurusnya.
  2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
  3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
  4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
  5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka pengadilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

 

[1] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2014, hlm.156.

[2] Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010, hlm. 7.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply