metode penemuan hukumMetode Penemuan Hukum – Sumber untuk menemukan hukum bagi hakim ialah : perundang-undangan, hukum yang tidak tertulis, putusan desa, yurisprudensi, dan ilmu pengetahuan. Sedangkan berkenaan dengan metode penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo, sebagaimana dikutip oleh Bambang Sutiyoso, secara garis besar membedakan metode penemuan hukum menjadi tiga, yaitu metode interpretasi, metode argumentasi dan metode eksposisi (konstruksi hukum), yang ketiga metode ini dijabarkan sebagai berikut:

 

  1. Metode Interpretasi

Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu. Adapun metode interpretasi ini dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :

  1. Interpretasi menurut bahasa – Metode interpretasi ini yang disebut interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan Undang-Undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari hanya sekedar “membaca Undang-Undang”. Interpretasi menurut bahasa ini harus logis juga.
  2. Interpretasi teleologis atau sosiologis – Metode interpretasi teleologis yaitu apabila makna Undang-Undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini Undang-Undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya Undang-Undang tersebut dikenal atau tidak. Interpretasi teleologis ini dinamakan juga interpretasi sosiologis, dimana metode ini baru digunakan apabila kata-kata dalam Undang-Undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara.
  3. Interpretasi sistematis – Interpretasi sistematis atau interpretasi logis yaitu menafsirkan Undang-Undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan Undang-Undang lain. Hal ini disebabkan terjadinya suatu Undang-Undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada Undang-Undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan.
  4. Interpretasi historis – Makna Undang-Undang dapat dijelaskan atau ditafsirkan juga dengan jelas meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran ini dikenal sebagai interpretasi historis. Jadi penafsiran historis merupakan penjelasan menurut terjadinya Undang-Undang. Ada dua macam interpretasi historis, yaitu penafsiran menurut sejarah Undang-Undang dan penafsiran menurut sejarah hukum.
  5. Interpretasi komparatif – Interpretasi komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan Undang-Undang.
  6. Interpretasi futuristis – Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan Undang-Undang dengan berpedoman pada Undang-Undang yang belum mempunyai ketentuan hukum.

 

  1. Metode Argumentasi

Metode argumentasi disebut juga dengan metode penalaran hukum, redenering atau reasoning. Metode ini dipergunakan apabila Undang-Undangnya tidak lengkap, maka dipergunakan metode argumentasi. Dapat terjadi hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus, disini hakim menghadapi kekosongan atau ketidak-lengkapan Undang-Undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya. Dalam hal ini apa yang harus dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukumnya? untuk mengisi kekosongan itu digunakan metode yaitu ;

  1. Argumentum per analogiamKadang-kadang peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya. Dalam hal ini untuk dapat menerapkan Undang-Undang pada peristiwanya hakim akan memperluasnya dengan metode argumentum per analogiam atau metode berfikir analogi. Dengan analogi maka peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam Undang-Undang diperlakukan sama. Analogi memberi penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
  2. Penyempitan Hukum – Kadang-kadang lagi peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu (penyempitan hukum, rechtsverfijning). Dalam menyempitkan atau hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
  3. Argumentum a contrarioCara menemukan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila Undang-Undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya, ini merupakan metode argumentum a contrario. Ini merupakan cara penafsiran atau menjelaskan Undang-Undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam Undang-Undang. Berkaitan dengan penemuan hukum melalui metode argumentasi ini, terdapat beberapa argumentasi keliru yang hendaknya oleh hakim dihindari, sebab hal ini termasuk merupakan kesesatan dalam hukum. Adapun argumentasi yang keliru tersebut, diantaranya yaitu:[1]
  4. Argumentum ad BaculumBaculum artinya tongkat. Jenis kekeliruan penalaran seperti ini terjadi karena argumen yang diajukan disandarkan pada pengaruh kekuasaan seseorang yang berargumen untuk memaksakan sebuah kesimpulan. Jenis argumentasi yang umumnya terjadi adalah menerima atau menolak suatu argumentasi karena adanya suatu tekanan atau ancaman dari mereka yang berkuasa, misalnya ancaman akan dipenjarakan, disiksa, bahkan menutup peluang mencari pekerjaan dan berbagai bentuk macam ancaman lain yang menakutkan. Jika suatu kasus yang diproses di pengadilan berakhir dengan keputusan batal demi hukum karena muncul surat sakti yang menghendaki dihentikannya proses hukum tersebut untuk kepentingan para penguasa, maka terjadilah kekeliruan penalaran.
  5. Argumentum ad HominemKekeliruan penalaran seperti ini terjadi karena argumen sengaja diarahkan untuk menyerang orang secara langsung, atau sebaliknya argumen yang menunjukkan pola pikir pada mengutamakan kepentingan pribadi. Contoh lain, yakni mendiskreditkan saksi karena ada anggota keluarganya yang pernah terindikasi terlibat organisasi terlarang. Seorang terdakwa yang berusaha mendapatkan hukuman seringan mungkin mencoba mempengaruhi keputusan hakim dengan mengatakan bahwa penderitaan yang akan dipikulnya sebagai akibat putusan sang hakim juga akan berbalik menimpa sang hakim atau keluarganya.
  6. Argumentum ad IgnorantiamSebuah argumen yang bertolak dari anggapan yang tidak mudah dibuktikan kesalahannya, atau juga anggapan tidak mudah dibuktikan kebenarannya. Dalam bentuk yang paling umum, kesesatan seperti itu terjadi karena mengargumentasikan suatu proposisi sebagai sesuatu yang benar karena tidak terbukti bersalah, atau suatu proposisi salah karena tidak terbukti benar. Elaborasi lebih lanjut dalam praktik, misalnya suatu pernyataan menegaskan bahwa para koruptor yang dibebaskan karena tidak terbukti bersalah, adalah bersih. Pernyataan ini belum tentu benar, karena koruptor tersebut sudah sempat menghilangkan barang bukti. Sebaliknya belum tentu seseorang yang dipenjara adalah orang yang bersalah, sebagaimana dibuktikan dalam kasus Sengkon dan Karta.
  7. Argumentum ad MisericordianSuatu argumen yang didasarkan pada perasaan belas kasihan sehingga orang mau menerima atau membenarkan kesimpulan yang diperoleh dari argumen tersebut, namun sebenarnya kesimpulan yang ditarik tidak menitikberatkan pada fakta yang dipersalahkan, melainkan semata-mata pada perasaan belas kasihan. Seorang ibu yang tertangkap tangan di supermarket karena mencuri susu formula untuk bayinya yang sedang sakit, pengacaranya mengargumentasikan bahwa perbuatan melanggar hukum sang ibu hendaknya diabaikan karena ia datang dari keluarga yang tidak mampu. Kesesatan tersebut terjadi untuk pembuktian tidak bersalah, seolah-olah orang miskin diargumentasikan boleh mencuri demi kehidupan anaknya. Dalam pembelaan perkara demi memperoleh keringanan hukuman, argumentasi seperti itu dapat digunakan, tetapi bukan sebagai pembuktian tidak bersalah.
  8. Argumentum ad PopulumKekeliruan pikir semacam ini sering kali diterjemahkan sebagai kekeliruan salah kaprah atau kekeliruan yang diterima secara umum. Argumen semacam itu digunakan untuk mengendalikan emosi masyarakat terhadap kesimpulan yang tidak didukung oleh bukti-bukti yang jelas. Argumen seperti itu dalam bentuk lain dilakukan dengan cara menarik massa, misalnya membawa nama rakyat sebagai dasar pembuktian.
  9. Argumentum ad Verecundiam atau Argumentum AuctoritatisDalam menghadapi permasalahan hukum yang rumit, pengadilan sering menghadirkan saksi-saksi yang dianggap ahli dan pakar yang menguasai permasalahan hukum yang dihadapi. Orang sering menganggap bahwa para pakar yang dianggap sebagai “dewa” yang menguasai permasalahan tersebut sehingga pendapat mereka dianggap paling benar dan sahih. Kesimpulan yang dibuat seperti itu akan sangat menyesatkan.

 

  1. Metode Eksposisi / Konstruksi Hukum

Metode eksposisi tidak lain adalah metode konstruksi hukum, yaitu metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian (hukum), bukan untuk menjelaskan barang. Pengertian hukum yang dimaksud adalah konstruksi hukum (rechts constructie) yang merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik.

 

Metode eksposisi atau konstruksi hukum akan digunakan oleh hakim pada saat dia dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum atau kekosongan Undang-Undang. Karena pada prinsipnya hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya. Hakim harus terus menggali dan menemukan hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

 

 

[1] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.2, Bayumedia, Malang,

2006, hlm. 259-264.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply