penemuan hukum hakim

Penemuan Hukum (rechtsvinding)Pengertian dari penemuan hukum itu sendiri, ada pendapat bahwa Penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtssvervijning (pengkonkretan hukum). Menurut Sudikno Mertokusumo, mengatakan bahwa :[1]

 

“Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Dengan kata lain, merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu. Yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukum untuk peristiwa kongkret.”

 

Ada beberapa peristilahan yang sering dikaitkan dengan penemuan hukum, yaitu:[2]

  1. Rechtsvorming (pembentukan hukum), yaitu merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku secara umum bagi setiap orang. Lazimnya dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang. Hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum (judge made law) kalau putusannya menjadi yurisprudensi tetap (vaste jurisprudence) yang diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi kalangan hukum pada umumnya.
  2. Rechtstoepassing (penerapan hukum), yaitu menerapkan peraturan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Untuk itu peristiwa konkret harus dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan.
  3. Rechtshandhaving (pelaksaan hukum), dapat berarti menjalankan hukum, baik ada sengketa / pelanggaran maupun tanpa sengketa.
  4. Rechtschepping (penciptaan hukum), berarti bahwa hukumnya sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan, yaitu dari tidak ada menjadi ada. Menurut pendapat Roeslan Saleh, hanya pembuat Undang-Undanglah yang mencipta hukum, tugas hakim adalah semata-mata menerapkan Undang-Undang.
  5. Rechtsvinding (penemuan hukum), dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali dan diketemukan.

 

Istilah rechtsvinding (penemuan hukum) rechtsvorming (pembentukan hukum) dapat memunculkan polemik dalam penggunannya. Karena orang lebih suka menggunakan istilah “pembentukan hukum” daripada “penemuan hukum” oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada. Mengenai macam-macam pembentukan hukum, dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :

 

  1. Penemuan hukum heteronom (Typisch logicitisch)

Penemuan hukum disini dianggap sebagai kejadian yang teknis dan kognitif, yang mengutamakan Undang-Undang. Sedangkan hakim tidak diberi kesempatan untuk berkreasi atau melakukan penilaian. Hakim dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya. Dalam hal ini hakim tidak bersikap mandiri, karena harus tunduk pada Undang-Undang (legisme /Typis logicistis). Hakim hanyalah sebagai penyambung lidah atau corong dari Undang-Undang, sehingga ia tidak dapat mengubah kekuatan hukum Undang-Undang, tidak dapat menambah dan mengurangi apa yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang.

 

  1. Penemuan hukum otonom (Materiel juridisch)

Dalam penemuan hukum otonom, hakim tidak lagi dipandang sebagai corong atau terompetnya Undang-Undang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri memberi bentuk pada isi Undang-Undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan atau perkembangan masyarakat. Penemuan hukum otonom bersumber dari hati nurani sendiri, hakim tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya. Hakim di Indonesia menganut penemuan hukum heteronom, sepanjang hakim terikat pada Undang-Undang. Tetapi dalam penemuan hukum itu juga mempunyai unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus menjelaskan atau melengkapi Undang-Undang menurut pandangannya sendiri. Sebagai contoh kalau ada hakim Pengadilan Negeri yang mengacu kepada putusan hakim di atasnya (PT atau MA), tetapi asasnya tetap bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim lain. Hal ini merupakan sifat otonom. Mengacunya hakim pada putusan hakim lain, tidak berarti menganut asas The binding force of precedent, seperti dianut oleh negara-negara Anglo Saxon, tetapi karena adanya keyakinan bahwa putusan yang dianutnya itu memang tepat (The persuacive force of precedent).

 

 

[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996,

hlm. 49.

[2] Ibid, hlm. 36-37.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply