Doktrin Kebebasan Hakim vs Asas Legalitas (Nulla poena sine lege)
Hakim dalam menyelenggarakan persidangan adalah bebas, tidak memihak dan berusaha memutus perkara sesuai dengan kemampuan hukum yang dimilikinya, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Hakim itu pada dasarnya bebas, yaitu bebas dalam/ untuk memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campur tangan atau turun tangan kekuasaan ekstra yudisiil. Jadi pada dasarnya dalam/ untuk memeriksa dan mengadili, hakim bebas untuk menentukan sendiri cara-cara memeriksa dan mengadili. Kecuali itu pada dasarnya tidak ada pihak-pihak, baik atasan hakim yang bersangkutan maupun pihak ekstra yudisiil yang boleh mencampuri jalannya sidang pengadilan. Meskipun pada asasnya hakim itu mandiri atau bebas, tetapi kebebasan hakim itu tidaklah mutlak, karena dalam menjalankan tugasnya hakim secara mikro dibatasi oleh Pancasila, UUD 1945, peraturan perundang-undangan, kehendak para pihak, ketertiban umum dan kesusilaan. Kalaupun kebebasan hakim itu bersifat universal, tetapi pelaksanaannya di masing-masing negara tidak sama.[1]
Menurut Paulus Effendie Lotulung, kekuasaan kehakiman yang merdeka juga meliputi kebebasan dari pengaruh-pengaruh internal judisiil di dalam menjatuhkan putusan. Istilah merdeka yang ada pada kedudukan hakim harus sesuai dengan kedudukan badan kekuasaan kehakiman yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam hal ini merdeka meliputi dua hal, yaitu :[2]
- Merdeka dalam keadaan dan kedudukannya, yaitu setiap hakim adalah seorang pejabat yang otonom dan merdeka. Hal itu berarti bahwa di dalam organisasi badan kehakiman tidak berlaku prinsip bahwa hakim yang satu sebagai atasan berhak atau berkewajiban memberi instruksi kepada hakim lainnya sebagai bawahannya dalam menghadapi dan dalam usahanya menyelesaikan suatu perkara konflik yang kongkrit individuil yag harus diadilinya. Hakim dalam hal itu tidak boleh dipengaruhi, apalagi diinstruksi oleh atasan atau oleh kalangan luar badan kehakiman,
- Merdeka dalam hal pelaksanaan tugasnya. Dalam melaksanakan tugasnya itu, hakim leluasa dalam usahanya menemukan jawaban atas persoalan kongkrit yang dihadapinya itu. Ikatan satu-satunya yang mengikat hakim dalam hal itu ialah hanya prinsip-prinsip hukum dalam tata hukum Indonesia yang ada di dalam hukum dasar. Sejauh usahanya untuk itu telah dijalankan secara yuridis murni, hakim yang bersangkutan telah menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baiknya.
Berkaitan dengan doktrin kebebasan hakim, perlu dipaparkan pula mengenai posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge). Dari hakim diharapkan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa yang benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara dan mengakhiri sengketa atau perkaranya. Setiap putusan hakim harus mengandung impartiality atau sikap tidak memihak. Sikap tidak memihak inilah yang pada akhirnya akan melahirkan ide equality atau persamaan, sehingga semua pihak akan diperlakukan sama di muka hukum. Mengingat peranan penting dari pengadilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, maka terciptanya pengadilan yang merdeka, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum.
Kebebasan hakim yang didasarkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia itu sendiri telah dijamin dalam konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945, yang selanjutnya diimplementasikan ke dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan selanjutnya diganti lagi dengan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam memeriksa serta memutus perkara pidana yang ada dihadapannya, hakim memiliki kebebasan untuk melakukan penilaian. Segalanya diserahkan pada pandangannya ataupun juga keyakinannya untuk menentukan salah tidaknya terdakwa. Tentu hal tersebut didasarkan pertimbangan fakta-fakta di persidangan maupun peraturan perundang-undangan atau hukum yang berlaku. Di dalam praktik tidak jarang sering dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas. Memang tidak ada hukum atau perundang-undangan yang sangat lengkap atau jelas sejelas-jelasnya. Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang masa.
Apabila hakim menghadapi situasi yang demikian maka hakim tidak diperbolehkan menolak perkara, hal ini sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyebutkan : “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Justru sebaliknya hakim harus memeriksa dan memutus perkara tersebut dengan melakukan penemuan hukum, bahkan kalau perlu dengan jalan menggunakan kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis. Hal ini dikarenakan dengan adanya peraturan hukum yang tidak jelas maka harus dijelaskan dan yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Oleh karena Undang-Undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum.
Dari sini diharapkan hakim dengan inisiatif sendiri, pertimbangan sendiri, menemukan hukum dan memutus perkara yang dihadapinya. Adapun untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut, hakim dalam mengadili perkara mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu :
- Hakim sebagai corong Undang-Undang;
- Hakim sebagai penterjemah Undang-Undang dengan interpretasi; dan
- Hakim menggunakan inisiatif sendiri (pertimbangan sendiri) atau otonom.
Terkait dengan fungsi hakim dalam mengadili perkara, sebagaimana dijelaskan di atas, awalnya terdapat aliran yang bernama aliran legisme, yang dipelopori oleh Montesqueu, Rousseou, Fennet, dan lain-lain, yang berpandangan bahwa hakim tidak lebih sekedar corong atau terompetnya Undang-Undang (La bouche de la loi). Hal ini disebabkan Undang-Undang adalah satu-satunya sumber hukum, sehingga hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan Undang-Undang secara tegas.[3] dalam perkembangannya, aliran legisme lama-lama mulai ditinggalkan, karena dianggap tidak mampu lagi memecahkan problem-problem hukum yang muncul. Kemudian muncul pandangan bahwa hakim bukan lagi sebagai corong undang-undang, orang condong pada peranan yang mandiri dalam pembentukan hukum oleh hakim. Hakim bukan lagi corong dari Undang-Undang, tetapi pembentukan hukum yang memberi bentuk pada isi Undang-Undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan hukum.
Hal inilah yang selanjutnya dinyatakan sebagai ajaran tentang kebebasan hakim, ajaran bahwa hakim tidak hanya corong pembentuk Undang-Undang saja, tetapi secara otonom, mencipta, menyelami proses kemasyarakatan. Pada hakikatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Adapun untuk hakim sendiri pada hakikatnya, dalam menjalankan tugas penemuan hukum, hakim harus bebas, baik dari pengaruh pihak-pihak yang berperkara, maupun pihak-pihak lain seperti : atasan, eksekutif, legislatif, dan sebagainya.
[1] Ibid, hlm. 51-52.
[2] Paulus effendie Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum, http:/www.IfipOrg/english/pdf/bali-seminar/Kebebasan%20Hakim%20-%20paulus%20 lotulong.pdf>,diunduh Tanggal 27 April 2018.
[3] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, op. cit, hlm. 32.