Kemandirian Kekuasaan Kehakiman merupakan prasyarat penting dalam melakukan kegiatan penemuan hukum oleh hakim di pengadilan. Kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman berarti tidak adanya intervensi dari pihak-pihak extra yudicial lainnya, sehingga dapat mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi hakim dalam menjalankan tugas-tugasnya di bidang judisial, yaitu dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Lebih lanjut kondisi ini diharapkan dapat menciptakan putusan hakim yang berkualitas, yang mengandung unsur keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Meskipun demikian, kemandirian kekuasaan kehakiman haruslah disertai dengan integritas moral, keluhuran, dan kehormatan martabat hakim, karena kalau tidak maka manipulasi dan mafia peradilan bisa saja berlindung dibawah independensi peradilan, sehingga para hakim yang menyalahgunakan jabatannya menjadi sulit tersentuh hukum. Selain dalam bentuk revisi berbagai peraturan perundang-undangan tentang pengadilan, pembaharuan peradilan juga dimantapkan melalui perubahan ketiga UUD NRI 1945.
Perubahan ketiga itu telah memberi jaminan konstitusional bagi kemerdekaan kehakiman. Namun, perubahan ketiga UUD NRI 1945 berkaitan dengan kekuasaan kehakiman lebih menekankan pada kemerdekaan kehakiman secara institusional daripada personal.[1] Alhasil yang muncul saat ini adalah kemerdekaan kehakiman personal berada dibawah kekuasaan kehakiman institusional karena para hakim nonpimpinan yang kurang memiliki posisi tawar kuat berada dalam subordinasi para hakim pimpinan yang sangat berkuasa menentukan nasib karier para hakim nonpimpinan. Kemandirian kekuasaan kehakiman disini dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :[2]
- Kemandirian lembaganya
Kemandirian dalam hal ini adalah kemandirian yang berkaitan dengan lembaga peradilannya itu sendiri. Parameter mandiri atau tidaknya suatu institusi peradilan dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu apakah lembaga peradilan tersebut mempunyai ketergantungan (saling mempengaruhi terhadap kemandiriannya dalam melaksanakan tugas) dengan lembaga lain ataukah tidak, misalnya dengan institusi
kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan lembaga-lembaga lainnya, dan juga apakah lembaga peradilan tersebut mempunyai hubungan hierarkhis ke atas secara formal, dimana lembaga atasannya tersebut dapat campur tangan dan mempengaruhi kebebasan atau kemandirian terhadap keberadaan lembaga peradilan tersebut.
- Kemandirian proses peradilannya
Kemandirian proses peradilan disini terutama dimulai dari proses pemeriksaan perkara, pembuktian sampai pada putusan yang dijatuhkannya. Parameter mandiri atau tidaknya suatu proses peradilan ditandai dengan ada atau tidaknya campur tangan (intervensi) dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman yang dengan berbagai upaya mempengaruhi jalannya proses peradilan baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Kemandirian hakimnya
Kemandirian hakim disini dibedakan tersendiri, karena hakim secara fungsional merupakan tenaga inti penegakan hukum dalam menyelenggarakan proses peradilan. Parameter mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari adanya campur tangan dari pihak lain dalm proses peradilan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian kekuasaan kehakiman pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :[3]
- Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang datangnya dari dalam hakim itu sendiri. Jadi faktor internal disini adalah segala hal yang berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) hakim itu sendiri, yaitu mulai dari rekrutmen/ seleksi untuk diangkat menjadi hakim, pendidikan hakim dan kesejahteraan hakim.
- Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan peradilan yang datangnya dari luar dari diri hakim, terutama berkaitan dengan sistem peradilan atau sistem penegakan hukumnya. Adapun faktor-faktor eksternal yang berpengaruh tersebut meliputi hal-hal yakni :
- Peraturan perundang-undangan
- Adanya intervensi terhadap proses peradilan
- Hubungan hakim dengan penegak hukum lain
- Adanya berbagai tekanan
- Faktor kesadaran hukum
- Faktor sistem pemerintahan (politik)
[1] Komisi Yudisial RI, Problematika Hakim Dalam Ranah Hukum, Pengadilan, Dan Masyarakat Indonesia : Studi Sosio-Legal, Sekjen Komisi Yudisial RI, Jakarta, 2017, hlm.55-56.
[2] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 52-54.
[3] Ibid, hlm. 58-64.