Kekuasaan Kehakiman di Indonesia – Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang yudisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dengan tugas seperti itu dapat dikatakan bahwa hakim merupakan pelaksana inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Secara umum kekuasaan kehakiman ini dapat dikatakan sebagai alat negara penegak hukum, seperti halnya kepolisian dan kejaksaan. Akan tetapi sifat dan tempatnya menurut hukum ketatanegaraan berbeda dengan kedua institusi tersebut. Kekuasaan Kehakiman terletak dalam bidang yudikatif, lembaga yang diberikan kekuasaan untuk menjalankannya adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.[1]
Secara khusus tentang kekuasaan kehakiman itu sendiri telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, setelah sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan beberapa perubahannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Di dalam Pasal 18 Undang-Undangan No. 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Adapun badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman tersebut, Mahkamah Agung berkedudukan sebagai pengadilan negara tertinggi, yang membawahi semua lingkungan peradilan di Indonesia, baik lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara. Selanjutnya berdasarkan bunyi Pasal 20 ayat (2) Undang-Undangan No. 48 Tahun 2009 dijelaskan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang yakni :
- Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, menentukan lain;
- Menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dan
- Kewenangan lainnya yang diberikan Undang-Undang.
Kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya, sudah barang tentu membutuhkan kebebasan dari segala bentuk pengaruh badan-badan kenegaraan lainnya, sebab begitu pentingnya dan urgensinya lembaga ini untuk mengemban tugas dalam penegakan hukum yang berintikan keadilan.[2] Menurut pendapat dari Oemar Seno Adji, mengatakan bahwa kebebasan lembaga pengadilan, kebebasan hakim sebagai ketentuan konstitusional yang kemudian digariskan dalam perundang-undangan organik, disebut sebagai salah satu aspek esensial, bahkan unsur fundamental dan conditio qua non dalam negara hukum bagi Indonesia.[3] Adapun sasaran penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah untuk menumbuhkan kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas. Kemandirian para penyelenggara dilakukan dalam meningkatkan integritas, ilmu pengetahuan dan kemampuan. Sedangkan peradilan yang berkualitas merupakan produk dari kinerja para penyelenggara peradilan tersebut.
Kemandirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim merupakan asas yang sifatnya universal, yang terdapat dimana saja dan kapan saja. Asas ini berarti bahwa dalam melaksanakan peradilan, hakim itu pada dasarnya bebas, yaitu bebas dalam/ untuk memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campur tangan atau turun tangan kekuasaan ekstra yudisiil. Jadi pada dasarnya dalam/untuk memeriksa dan mengadili, hakim bebas untuk menentukan sendiri cara-cara memeriksa dan mengadili. Kecuali itu pada dasarnya tidak ada pihak-pihak, baik atasan hakim yang bersangkutan maupun pihak ekstra yudisiil yang boleh mencampuri jalannya sidang pengadilan.
Gagasan tentang konsep kekuasaan kehakiman dalam arti luas, yaitu “kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”. Dengan pengertian seperti ini, maka kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti “kekuasaan mengadili” (kekuasaan menegakkan hukum di badan-badan peradilan), tetapi mencakup kekuasaan menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakkan hukum. Kehakiman yang merdeka dan mandiri harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Artinya keseluruhan kekuasaan kehakiman di bidang penegakan hukum pidana (yaitu “kekuasaan penyidikan”,“kekuasaan penuntutan”, “kekuasaan mengadili”, dan “kekuasaan eksekusi pidana”) seharusnya merdeka dan mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah/ eksekutif.
[1] Zainal Arifin Hoesein, op.cit, hlm.142-143.
[2] Rusli Muhammad, Kemandirian Pengadilan Indonesia, cet. 1, UII Press, Yogyakarta, 2010, hlm. 35.
[3] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1985, hlm. 251.