Profesi Hakim di Pengadilan – Secara formal, hakim memegang posisi yang sentral dalam dunia peradilan. Di tangannya nasib baik atau buruk mereka yang didakwa ditentukan. Hakim merupakan satu-satunya profesi di dunia yang mendapat sebutan: ‘Wakil Tuhan’ atau ’Yang Mulia’. Dalam bahasa akademik sering disebut sebagai officium nobile (profesi luhur).
Di sisi lain, hakim juga manusia biasa. Ia bukanlah sebuah entitas yang tunggal, steril dan mekanis. Bukan juga manusia yang bebas nilai dan terhindar dari segala yang bersifat manusiawi. Sebagai manusia, hakim tidak lepas dari asal-usul sosialnya, pendidikan, gender, psikologi, agama, status dan kelas sosialnya, tradisi, atau ideologi keilmuannya. Menyadari bahwa hakim adalah juga manusia mendorong kita untuk melihatnya dalam kualitas kemanusiannya secara penuh. Dengan dua sisi itu, hakim dalam memutus perkara akan mengalami “pergulatan kemanusiaan”, untuk melihat kinerja hakim tidak bisa hanya dilihat secara normatif, tetapi juga melihat faktor-faktor lain di luar dunia formalnya.
Hakim (Pengadilan) merupakan salah satu dari empat komponen sistem peradilan pidana (criminal justice system), dimana sistem peradilan pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterimanya. Adapun komponen lainnya adalah kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan. Di dalam Pasal 1 angka 8 KUHAP disebutkan bahwa hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Sedangkan di dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang. Hakim sering dianggap sebagai sosok yang menentukan nasib seseorang, dalam hal ini adalah seorang terdakwa. Ditangannya seorang terdakwa bisa saja dijatuhi pidana mati, dihukum seumur hidup, atau bahkan dibebaskan dari segala kesalahan.
Di dalam KUHAP sendiri, khususnya sebagaimana diatur di dalam Pasal 183, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali dengan minimal dengan dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hal ini menunjukkan adanya kemandirian, atau kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan. Ia bebas menentukan timbulnya keyakinan dalam dirinya berdasarkan alat-alat bukti yang dihadapkan ke muka sidang. Di luar kerangka itu, tidak boleh ada hal yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjatuhkan putusan.[1] Keyakinan hakim yang subyektif ini tidak serta merta mempunyai arti bahwa hakim boleh bertindak sewenang-wenang. Kemandirian atau kebebasan hakim haruslah dikembalikan kepada tujuan hukum yaitu keadilan. Dimana menurut Teori Etis, hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang yang adil dan tidak. Dapat dikatakan bahwa keberadaan hakim di dalam sistem peradilan pidana sangatlah penting di dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan melalui putusan-putusan yang diambilnya.
[1] Pontang Moerad, Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara
Pidana, cet. 1, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 24.