batasan kebebasan hakimBatasan Kekuasaan Kehakiman – Dengan kata lain untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim yang mengatasnamakan kebebasan, maka harus diciptakan batasan-batasan tanpa mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakikat kekuasaan kehakiman. Pembatasan-pembatasan tersebut berlaku dalam bentuk-bentuk sebagai berikut :

 

1. Hakim hanya memutus berdasarkan hukum

Setiap putusan hakim harus dapat menunjukkan secara tegas ketentuan hukum yang diterapkan dalam suatu perkara kongkret. Hal ini sejalan dengan asas legalitas bahwa suatu tindakan haruslah berdasarkan aturan hukum. Asas yang menuntut suatu kepastian hukum bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu perbuatan yang didakwakan kepadanya, memang telah ada sebelumnya suatu ketentuan perundang-undangan yang mengatur perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang. Segala putusan hakim /pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus pula memuat Pasal-Pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

 

2. Hakim memutus semata-semata untuk keadilan

Untuk mewujudkan keadilan ini, hakim dimungkinkan untuk menafsirkan, melakukan konstruksi hukum, bahkan tidak menerapkan atau mengesampingkan suatu ketentuan yang berlaku. Apabila hakim tidak dapat menerapkan hukum yang berlaku, maka hakim wajib menemukan hukum demi terwujudnya suatu putusan yang adil. Karena penafsiran, konstruksi, tidak menerapkan hukum atau menemukan hukum tersebut semata-mata untuk mewujudkan keadilan, tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang. Undang-Undang telah menggariskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

 

3. Dalam melakukan penafsiran, konstruksi hukum.

Hakim harus tetap berpegang teguh kepada asas-asas umum hukum (general principle of law) dan asas keadilan umum (the general principle of natural justice) Tidak ada suatu kekuasaan yang dapat menindak hakim karena putusannya dianggap tidak adil. Bahkan negara pun tidak dapat menuntut tanggungjawab atas kesalahan hakim dalam melaksanakan tugasnya dalam bidang peradilan. Tindakan terhadap hakim hanya mengenai tingkah laku pribadi yang merugikan negara atau menurunkan martabat kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu di dalam melakukan penafsiran, dan konstruksi hukum, hakim harus tetap berpegang teguh kepada asas-asas umum hukum (general principle of law) dan asas keadilan umum (the general principle of natural justice).

 

Dari adanya pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan hakim, terutama pembatasan mengenai hakim hanya memutus berdasarkan hukum, dapat dilihat terdapat hubungan antara kebebasan hakim vs asas legalitas. Dimana apabila dikaitkan dengan asas legalitas yang berupa nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa Undang-Undang), maka dapat dikatakan bahwa kebebasan yang dimiliki seorang hakim tidaklah mutlak atau dengan kata lain kebebasan hakim dibatasi.

 

Terkait dengan adanya hubungan antara asas legalitas berupa nulla poena sine lege dengan kebebasan hakim dapat diuraikan yakni pada awalnya ajaran asas legalitas ini diciptakan dan dikembangkan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach (1775-1833) juris dari Jerman, apa yang dirumuskan oleh Feuerbach mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin berbunyi : nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa Undang-Undang); nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana); nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut Undang-Undang). Ketiga frasa tersebut kemudian dikembangkan oleh Feuerbach menjadi adagium Nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali, yang mengandung arti : tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan.[1]

 

[1] Moeljatno, op.cit., hlm.25.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply