Seorang dikatakan wanprestasi jika memenuhi unsur-unsur berikut:
- Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
- Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
- Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan;
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Sebagaimana Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) berbunyi: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Menurut definisinya, wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian. Wanprestasi diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan, “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dasar Hukum Wanprestasi
Pasal wanprestasi tertuang dalam Pasal 1238 KUHPerdata, yang menyebutkan “Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, wanprestasi berasal dari adanya kesepatakan/perjanjian suatu perikatan hukum menyangkut suatu transaksi yang tidak dipenuhi oleh salah satu pihak. Jadi, jika ada salah satu pihak yang gagal memenuhi janjinya untuk menunaikan prestasi baik sengaja ataupun kelalaian, maka hal itu dapat dikatakan telah terjadi cedera janji (wanprestasi).
Akibat Hukum Wanprestasi/Cidera Janji, maka pihak yang dirugikan dapat melakukan pemanggilan secara tertulis (somasi) dan menggugat ke pengadilan. Selain itu, pihak yang melakukan wanprestasi berkewajiban melaksanakan prestasi sebagai berikut:
Harus mengganti kerugian yang diderita oleh kreditor atau pihak lain yang memiliki hak untuk menerima prestasi tersebut (Pasal 1243 BW);
Harus Pemutusan kontrak yang dibarengi dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 BW);
Harus menerima peralihan resiko sejak wanprestasi tersebut terjadi (Pasal 1237 ayat (2) BW);
Harus menanggung biaya perkara jika perkara tersebut dibawa ke pengadilan (Pasal 181 ayat (2) HIR).
Adapun akibat hukum karena adanya wanprestasi dalam suatu perjanjian adalah debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (pasal 1234 KUHPerdata). Apabila perikatan itu timbal balik. Kreditur dapat menuntut pembatalan/dapat dibatalkan perikatannya melalui hakim (pasal 1266 KUHPerdata ).
Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata). Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUHPerdata).
Merujuk penjelasan Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, wanprestasi tentu dapat berakibat pada tindakan hukum sesuai aturan yang berlaku. Dimana masing-masing pihak yang merasa dirugikan berhak menggugat ke Pengadilan untuk menuntut ganti rugi, berupa penggantian biaya, kerugian dan bunga jika ada. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1243 dan Pasal 1244 KUH Perdata (BW) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1243 KUHPerdata :
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
Pasal 1244 KUHPerdata :
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. Bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.
Sementara Pasal 1267 KUHPerdata mengatur mengenai hak-hak kreditur yang merupakan alternatif upaya hukum untuk mendapatkan hak-haknya kembali. Isi pasal tersebut adalah:
- Meminta pelaksanaan perjanjian, atau
- Meminta ganti rugi, atau
- Meminta pelaksanaan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi, atau
- Dalam perjanjian timbal balik dapat dimintakan pembatalan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi.
Pasal 1238 KUHPerdata :
“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Pasal 1239 KUHPerdata :
“Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.”
Perbedaan gugatan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum (PMH)