Sistem Peradilan Pidana di Indonesia – Sistem peradilan pidana (criminal justice system) itu sendiri sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidang kehidupan manusia. Oleh karena itu dalam geraknya akan selalu mengalami interaksi, interkoneksi, dan interdepedensi dengan lingkungannya serta sub-sub sistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri.

 

Sistem ini terdiri atas sub-sub sistem pendukungnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan (totalitas) yang berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) untuk mencapai tujuan sistem peradilan pidana yang berupa resosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah), dan kesejahteraan sosial (jangka panjang).

 

Dapat digambarkan bahwa sistem peradilan pidana terdiri atas beberapa tahap : pengusutan, pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan di muka sidang, eksekusi dari pidana yang dijatuhkan. Sebagai sarana untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan, sistem peradilan pidana diharapkan dapat bekerja secara baik dan benar. Dengan kata lain sebagai suatu sarana untuk menanggulangi masalah tindak pidana, maka sistem peradilan pidana sangat diharapkan mampu bekerja secara efektif dan efisien. Salah satu sub sistem pendukung yang mempunyai peranan sangat penting di dalam pelaksanan sistem peradilan pidana adalah pengadilan, yang mana di dalamnya berisi para hakim yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Dalam kaitan dengan tugasnya untuk mengadili ini, Roeslan Saleh menyatakan bahwa :[1]

“Mengadili adalah suatu pergulatan kemanusiaan untuk mewujudkan hukum. Oleh karenanya mengadili tanpa suatu hubungan yang bersifat sesama manusia antara hakim dengan terdakwa kerapkali dirasakan sebagai memperlakukan suatu ketidak-adilan”.

 

Hakikatnya tugas pokok hakim adalah memeriksa, mengadili, dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini sebagaimana yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merupakan pengganti dari Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.

 

Dapat pula dikatakan bahwa tugas hakim adalah mengambil atau menjatuhkan putusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Ia tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila perkaranya sudah mulai diperiksa. Bahkan perkara yang telah diajukan kepadanya tetapi belum mulai diperiksa tidak wewenang ia menolaknya. Mengenai putusan yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap para pelaku kejahatan dapat bermacam-macam bentuknya, hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dan putusan pemidanaan. Sedangkan bentuk pidana atau hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu  pidana terdiri atas:

a. Pidana pokok :

  1. Pidana mati;
  2. Pidana penjara;
  3. Pidana kurungan;
  4. Pidana denda;
  5. Pidana tutupan.

b. Pidana tambahan :

  1. Pencabutan beberapa hak yang tertentu;
  2. Perampasan barang yang tertentu;
  3. Pengumuman keputusan hakim.

Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsort) sesuai dengan kehendaknya, karena pada asasnya hukum pidana positif Indonesia menggunakan sistem alternatif dalam pencantuman sanksi pidana.[2] Di samping itu dianutnya sistem pidana minimal umum, maksimal umum dan juga maksimal khusus, (untuk masing-masing tindak pidana) juga membuka kesempatan bagi hakim untuk mempergunakan kebebasannya dalam menjatuhkan pidana. Tidak adanya pedoman pemberian pidana yang umum dalam KUHP yang berlaku sekarang ini dipandang pula sebagai dasar hakim untuk dengan bebas menjatuhkan putusannya.

 

[1] Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru, Jakarta, 1979, hlm.22.

[2] Muladi, Hal-Hal Yang Harus Dipertimbangkan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Dalam Rangka Mencari Keadilan Dalam Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995, hlm.107.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply