Penanggulangan tindak pidana korupsi diupayakan melalui kebijakan penjatuhan sanksi terhadap pelaku melalui UUPTPK. Sistem sanksi yang dimaksud mencakup dalam hal bobot delik tentunya tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime memiliki bobot yang lebih berat dengan perumusan yang ketat dan begitu tentunya juga dengan pelaksanaan pidananya.
Sistem sanksi pidana yang dipergunakan dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang ditentukan di luar KUHP masih memiliki titik lemah, yakni dalam UUPTPK masih terdapat kelemahan yaitu tidak adanya aturan khusus/pedoman untuk menerapkan sanksi pidana yang dirumuskan. Sebagai contoh : Kelemahan tersebut terlihat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UUPTK. Pasal 2 secara melawan hukum (memperkaya diri) diancam dengan pidana paling singkat 4 (empat) tahun sedangkan Pasal 3 (menyalahgunakan kewenangan) diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun, mestinya Pasal 3 harus lebih berat hukuman dibanding Pasal 2 karena dia tahu kalau dia menyalahgunakan wewenang untuk melakukan pidana.
Kelemahan tersebut dapat mempersulit sub sistem peradilan pidana untuk mengoptimalkan perannya dalam upaya memberantas korupsi dan belum lagi ditambah dengan kecerdasan para advokat dan pelaku tindak pidana korupsi, maka dalam hal ini dapat menjadi celah hukum yang dapat meringankan mereka dari jerat hukum (pidana). Menghindari hal tersebut, sangat pentinglah adanya sebuah kebijakan formulasi sanksi pidana yang akan dipergunakan dalam merumuskan Undang-Undang tindak pidana korupsi guna memperbaiki titik lemah dalam sistem sanksi maupun dalam hal lainnya. Tidak hanya bertujuan untuk menjerakan para koruptor atau menakut-nakuti, namun juga dalam upaya pemulihan kerugian keuangan negara melalui pengembalian aset. Kebijakan hukum pidana ini tentunya berfokus pada tahap formulasi/legislatif, yaitu tahap perumusan suatu perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan sanksi apa sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelaku.