Perumusan Lamanya Sanksi Pidana – Dimana dikenal adanya 4 (empat) sistem perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) yaitu :
- Sistem fixed / definite sentence berupa ancaman pidana yang sudah pasti.
- Sistem indefinite sentence berupa ancaman lamanya pidana secara maksimum.
- Sistem determinate sentence berupa ditentukannya batas minimum dan maksimum lamanya ancaman pidana.
- Sistem interdeminate sentence berupa tidak ditentukan batas maksimum pidana; badan pembuat Undang-Undang menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan (diskresi) pidana aparat pelaksana pidana yang berada pada tingkatan yang lebih rendah, misalnya dalam menetapkan ukuran, sifat atau lamanya pidana untuk pelaku kejahatan tertentu.
Dari adanya beberapa sistem perumusan tentang lamanya sanksi pidana (strafmaat), sebagaimana disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa sistem perumusan lamanya ancaman pidana atau sanksi pidana yang terdapat dalam UU Tipikor menganut sistem determinate sentence, yaitu menentukan batas minimum dan maksimum lamanya ancaman pidana.
Salah satu contohnya terdapat pada Pasal 2 UU Tipikor ;
Ayat (1) “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Ayat (2) “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Pasal 3 UU Tipikor ;
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Dengan dianutnya sistem determinate sentence dalam UU Tipikor, maka penjatuhan putusan yang dilakukan oleh hakim haruslah berpatokan pada batas-batas yang telah ditentukan dalam UU Tipikor, yaitu antara batas minimum dan maksimum. Dengan adanya patokan tersebut, seorang hakim dapat saja menjatuhkan vonis dalam batas yang minimal dan bisa juga dalam batas yang maksimal. Sehingga dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa dengan telah ditentukannya batas minimum dan maksimum lamanya ancaman pidana, sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, maka hal ini dapat membatasi kebebasan hakim dalam menjatuhkan pidana.
Berkaitan dengan penjatuhan putusan oleh hakim, baik berupa putusan pemidanaan maupun bukan pemidanaan, dalam proses pelaksanaannya di persidangan dapat dijelaskan bahwasanya penjatuhan putusan dilakukan oleh hakim, setelah melalui musyawarah majelis hakim itu sendiri, yakni sesudah tahap proses penuntutan oleh penuntut umum, lalu pembelaan oleh terdakwa / penasehat hukumnya, selanjutnya jawaban oleh penuntut umum atas pembelaan dari terdakwa / penasehat hukumnya, telah berakhir atau selesai dilakukan. Dengan kata lain kalau tahap proses penuntutan, pembelaan, dan jawaban telah berakhir, tibalah saatnya hakim ketua menyatakan “pemeriksaan dinyatakan ditutup”. Pernyataan inilah yang mengantar persidangan ke tahap musyawarah hakim guna menyiapkan putusan yang akan dijatuhkan pengadilan.[1]
[1] M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ed. 2, cet. 6, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 347.