Penjatuhan Putusan Pidana – Pada dasarnya putusan hakim atau putusan pengadilan atau biasa juga disebut dengan vonis tersebut sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan adanya putusan hakim ini, diharapkan para pihak dalam perkara pidana khususnya bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya, antara lain dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum, bisa berupa banding maupun kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Apabila ditinjau dari optik hakim yang mengadili perkara pidana, putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi, penguasaan hukum atau fakta, secara mapan dan faktual serta visualisasi etika beserta moral dari hakim yang bersangkutan.[1]
Sedangkan bila putusan yang dijatuhkan oleh hakim adalah berupa pemidanaan, maka dapat dikatakan bahwa penjatuhan pidana oleh hakim itu merupakan suatu proses dan berakhir dengan diterapkannya olehnya bagi tertuduh jenis pidana yang paling tepat, beratnya, dan cara pelaksanaannya (strafsoort, strafmaat dan strafmadaliteit). Menurut pendapat Leden Marpaung, putusan hakim merupakan hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan.[2]
Sedangkan menurut Lilik Mulyadi, mengatakan bahwa :
“Putusan pengadilan adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau lepas pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya”.[3]
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah : Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Lebih lanjut KUHAP juga menjelaskan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 195. Menurut pendapat Eva Achjani Zulfa, keputusan hakim (yang berkekuatan tetap) adalah keputusan terhadap perbuatan atau perkara yang berupa:[4]
- Pembebasan (vrijspraak) – Pasal 191 ayat (1) KUHAP;
- Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtsvervolging) –Pasal 191 ayat (2) KUHAP;
- Penjatuhan pidana – Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
Keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak pidana atau kesalahan terdakwaSetiap putusan hakim, baik yang berisi pemidanaan ataupun yang bukan pemidanaan, kepala putusannya selalu berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 197 dan 199 KUHAP). Terhadap hal ini ada pendapat dari Bismar Siregar, seorang mantan hakim agung, yang mengatakan :[5]
“Dengan demikian dalam menetapkan putusannya, pertama-tama seorang hakim bermunajat kepada Allah SWT. Atas nama-Nyalah suatu putusan diucapkan. Ia bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat itulah hatinya bergetar.”
Adapun di dalam menjatuhkan putusan berupa pemidanaan, seorang hakim pastinya akan berpedoman pada ketentuan sanksi pidana (starfmaat) yang telah diatur dalam suatu Undang-Undang.
[1] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya,
cet. 1, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 201.
[2] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
1995, hlm. 406.
[3] Lilik Mulyadi, op.cit, hlm.203.
[4] Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut; Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat
Pidana, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 15.
[5] Bismar Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, Gema Insani Press, Jakarta, 1995,
hlm. 19.