Perkembangan Asas Legalitas Hukum PidanaPerkembangan Asas Legalitas Hukum Pidana – Perihal sejarah perkembangan asas legalitas dalam hukum pidana, terdapat 4 (empat) macam sifat ajaran yang dikandung oleh asas legalitas, yaitu :

  1. Asas legalitas hukum pidana yang bertitik berat pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini adalah nulla poena sine lege. Perlindungan individu diwujudkan dengan adanya keharusan lebih dahulu untuk menentukan perbuatan pidana dan pemidanaan dalam Undang-Undang.
  2. Asas legalitas hukum pidana bertitik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada lagi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini adalah nullum delictum, nullla poena sine praevia lege poenali.
  3. Asas legalitas hukum pidana bertitik berat tidak hanya pada ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang menghindari perbuatan tersebut, tetapi juga pada ancaman pidananya, agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana.
  4. Asas legalitas hukum pidana bertitik berat pada perlindungan hukum kepada negara dan masyarakat. Asas legalitas disini bukan hanya didasarkan pada kejahatan yang ditetapkan oleh Undang-Undang saja, akan tetapi didasarkan pada ketentuan hukum yang berdasarkan ukurannya dapat membahayakan masyarakat. Adagium yang dipakai disini adalah nullum crimen sine poena.

 

Adapun mengenai makna yang terkandung dalam asas legalitas itu sendiri, menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa makna dari asas legalitas ada 2 (dua) yaitu :

  1. Sanksi pidana (straf-sanctie) hanya dapat ditentukan dengan Undang-Undang.
  2. Bahwa ketentuan sanksi pidana ini tidak boleh berlaku surut (geen terugwerkende kracht).

 

Menurut Schaffmeister, Keijzer, dan Sutorius, mengemukakan bahwa terdapat 7 (tujuh) aspek dari asas legalitas, yaitu :

  1. Seseorang tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut Undang-Undang.
  2. Tidak ada penerapan Undang-Undang pidana berdasarkan analogi.
  3. Seseorang tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan. Artinya pelanggaran atas kaidah kebiasaan dengan sendirinya belum tentu menghasilkan perbuatan pidana.
  4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (penerapan dari asas lex certa).
  5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana.
  6. Tidak ada pidana lain, kecuali yang ditentukan oleh Undang-Undang. Dalam hal ini, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam ketentuan Undang-Undang.
  7. Penuntutan pidana hanya boleh dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh Undang-Undang. Artinya seluruh proses pidana, mulai dari penyelidikan sampai pelaksanaan putusan haruslah didasarkan pada Undang-Undang.

 

Dari kedua pendapat yang menjelaskan mengenai makna yang terkandung dalam asas legalitas, baik pendapat dari Wirjono Prodjodikoro pada poin pertama maupun pendapat dari Schaffmeister, Keijzer, dan Sutorius, pada poin ke enam, maka apabila dihubungkan dengan asas legalitas yang dikembangkan oleh Feuerbach yang salah satunya berbunyi nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa Undang-Undang), terlihat jelas bahwa kedua pendapat tersebut di atas sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh Feuerbach. Disini dijelaskan bahwasanya setiap sanksi pidana haruslah ditentukan dalam Undang-Undang, sehingga dengan demikian seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam ketentuan Undang-Undang. Apabila merujuk pada ketiga frasa yang dikemukakan oleh Feuerbach yang melahirkan asas legalitas, sebagaimana telah dijelaskan di atas, yakni nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa Undang-Undang); nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana); nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut Undang-Undang), maka asas legalitas ini berlaku baik dalam hukum pidana materiil maupun dalam hukum pidana formil. Frasa nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine lebih mengarah pada hukum pidana materiil yang berisi perbuatan yang dilarang beserta ancaman pidananya, sedangkan frasa terakhir, nullum crimen sine poena legali lebih mengarah pada hukum pidana formil.  Jadi, dari uraian mengenai asas legalitas yang dikembangkan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach di atas, terutama menyangkut tentang salah satu frasa yang melahirkan asas legalitas yakni nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa Undang-Undang), apabila dihubungkan dengan kebebasan hakim, maka dapat disimpulkan bahwasanya kebebasan hakim tidaklah mutlak.

 

Hal ini dikarenakan hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang atau pelaku pidana atas perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya, bila ancaman pidana atau sanksi pidana yang diancamkan terhadap perbuatan dari si pelaku tersebut belum diatur dalam suatu Undang-Undang. Dapat pula dikatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam ketentuan Undang-Undang. Disini memberikan arti hakim tidak dapat menjatuhkan pidana melebihi dari ancaman pidana yang telah diatur dalam suatu Undang-Undang. Apabila hal ini dilakukan oleh hakim maka dapat dianggap hakim tersebut telah bertindak secara sewenang-wenang dan melanggar hak asasi manusia, dalam hal ini adalah hak seorang terdakwa. Di samping itu hakim juga tidak dapat menjatuhkan pidana di bawah batas minimum ancaman pidana yang telah diatur dalam suatu Undang-Undang sebab apabila hal ini dilakukan oleh hakim maka tindakan hakim tersebut bertentangan dengan kepastian hukum yang terkandung dalam Undang-Undang itu sendiri.

 

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply