Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
Marc Ancel menyatakan[1], kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat Undang-Undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan Undang-Undang dan juga kepada penyelenggaran atau pelaksana putusan pengadilan.
Kebijakan hukum pidana dengan sarana penal (penal policy) atau menggunakan hukum pidana ialah permasalahan penentuan :
- Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana (kriminalisasi).
- Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelaku atau pelanggar (penalisasi).
Kebijakan hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan sosial untuk melindungi masyarakat dari perbuatan perbuatan yang tidak diinginkan, sehingga dalam pemecahannya harus juga diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut, maka sudah seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal (penal policy atau penal-law enforcement policy) memiliki fungsionalisasi/operasionalisasinya yang dilakukan melalui beberapa tahap, yakni:
- Tahap formulasi (kebijakan legislatif), yaitu tahap penetapan hukum pidana mengenai macam perbuatan yang dapat dipidana dan jenis sanksi yang dapat dikenakan. Kekuasaan yang berwenang dalam malaksanakan tahap ini adalah kekuasaan legislatif/formulatif.
- Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif), yaitu tahap yang menerapkan hukum pidana atau penjatuhan pidana kepada seseorang atau korporasi oleh hakim atas perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut. Kekuasaan yang berwenang dalam tahap ini adalah kekuasaan aplikatif/yudikatif.
- Tahap eksekusi (kebijakan administratif), yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana atas orang atau korporasi yang telah dijatuhi pidana tersebut. Kewenangan dalam hal ini ada pada kekuasaan eksekutif/administratif.
Kebijakan hukum pidana terhadap sanksi dalam tindak pidana korupsi tidak dapat dilepas dari tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kebijakan formulasi dalam penanggulangan kejahatan (termasuk tindak pidana korupsi) menurut Barda Nawawi Arief bahwa, dilihat dari sudut pendekatan kebijakan, maka pembaharuan hukum pidana memiliki makna :[2]
- Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial, dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya);
- Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan);
- Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
Secara sistem kebijakan hukum pidana dari aspek formulasi merupakan tahap yang strategis, proses legislasi/formulasi/pembuatan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan proses penegakan hukum “in abstracto”. Proses legislasi /formulasi ini merupakan tahap awal yang sangat strategis dari proses penegakan hukum “in concreto”. Kesalahan/kelemahan pada tahap kebijakan legislasi/formulasi merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya penegakan hukum “in concreto”.
[1] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet.3, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 23
[2] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Disertasi, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1994, hlm. 26.