Asas-asas Hukum Acara Perdata:

Adapun dalam hukum acara perdata terdapat beberapa asas yang berlaku yaitu:

  1. Hakim Bersifat Menunggu (iudex no procedat ex officio).

Asas ini dapat ditemukan dalam pasal 10 ayat (1) UU No. 48 / 2009 dan pasal 142 RBg/pasal 118 HIR. Pasal 142 ayat (1) RBg menentukan bahwa gugatan perdata dalam tingkat pertama yang pemeriksaannya menjadi wewenang pengadilan negeri diajukan oleh penggugat atau oleh seorang kuasanya.

Hakim bersifat menunggu artinya inisiatif pengajuan gugatan berasal dari penggugat, hakim (pengadilan) hanya menunggu diajukannya tuntutan hak oleh penggugat. Yang mengajukan tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan (Sudikno Mertokusumo, 1993: 10). Apabila tidak diajukannya gugatan atau tuntutan hak, maka tidak ada hakim. Hakim baru bekerja setelah tuntutan diajukan kepadanya. Namun, apabila tuntutan atau perkara diajukan kepadanya, maka pengadilan/hakim dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sustu perkara, dengan alasan bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.

 

  1. Hakim Bersifat Pasif (lijdelijkeheid van rechter).

Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim (Sudikno Mertokusumo, 1993: 11). Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan cepat sederhana dan biaya ringan (pasal 4 ayat (2) UU No. 48/2009).

Asas ini meliputi beberapa hal yaitu :

  • Hakim bersifat menunggu (NEMO JUDEX SINE ACTORE); Inisiatif untuk mengajukan perkara ada pada pihak-pihak yang berkepentingan, bukan pada hakim. Selanjutnya kemungkinan mengakhiri proses perkara yang sudah berjalan, adalah hak bebas dari para pihak. Hakim tidak berwenang menghalangi kendati pun sudah mulai diperiksa.
  • Hakim mengadili seluruh gugatan; Hakim dilarang menjatuhkan keputusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut. Hakim wajib memutus semua tuntutan.
  • Hakim mengejar kebenaran formil; Hakim cukup hanya mengejar kebenaran formil, yaitu kebenaran yang hanya didasarkan atas bukti-bukti yang diajukan dimuka sidang pengadilan. Apakah bukti itu benar atau tidak, hakim harus menerima sebagai suatu hal yang benar, jika satu pihak mengakui kebenaran bukti yang diajukan oleh pihak lain, kendati pun tidak meyakininya.
  • Para pihak bebas untuk mengajukan atau tidak mengajukan upaya hukum verzet, banding dan kasasi terhadap putusan pengadilan

 

  1. Persidangan Terbuka Untuk Umum (Openbaarheid van rechtspraak).

Pasal 13 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang kekuasaan kehakiman menentukan : semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang undang menentukan lain.

Secara formal asas ini membuka kesempatan untuk “sosial kontrol” (H. Zainal Asikin, 2015: 11), untuk menjamin peradilan yang tidak memihak, adil, obyektif, berproses sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat secara umum dapat hadir, mendengarkan dan menyaksikan jalannya persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh undang undang dan persidangan dinyatakan dilakukan dengan pintu tertutup. Asas ini bertujuan untuk memberi perlindungan hak hak asasi manusia di bidang peradilan, sehingga terjadi pemeriksaan yang fair dan obyektif dan didapat putusan yang obyektif.

Putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan tidak sah dan batal demi hukum apabila tidak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

 

  1. Mendengar kedua belah pihak

Para pihak yang berperkara, harus diperlakukan sama mereka harus diberikan kesempatan yang sama karena mereka mempunyai kedudukan yang sama (audi et alteram partem).Hakim harus mendengar keterangan kedua belah pihak. Alat-alat bukti harus diajukan dimuka sidang pengadilan yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang perkara Putusan verstek (diluar hadirnya tergugat) bukanlah pelanggaran atas azas ini, karena putusan dijatuhkan adalah sesudah yang bersangkutan telah dipanggil secara patut, tetapi tidak menghadiri sidang dan tidak mengirim kuasanya. Lagipula, gugatan tentu karena beralasan dan cukup bukti-bukti. Sebagaimana Asas ini dicantumkan dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 48/2009, pasal 145 dan 157 RBg, pasal 121 dan 132 HIR.

 

  1. Tidak ada keharusan untuk mewakilkan.

Para pihak yang berperkara boleh mewakilkan kepada kuasa, tetapi boleh juga tanpa mewakilkan. Berbeda dengan sistem beracara dimuka Raad van Justitie (R.v.J) yang mewajibkan para pihak untuk diwakili oleh ahli hukum.

 

  1. Putusan Harus Disertai Alasan (motivering plicht-voeldoende gemotiveerd).

Alasan tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim dari putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, ilmu hukum sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif (Sudikno Mertokusumo, 1993: 14). Kewajiban mencantumkan alasan alasan ditentukan dalam pasal 195 RBg, Pasal 184 HIR, pasal 50 dqn 53 UU No. 48/2009, pasal 68 A UU No. 49/2009.

Pasal 68 A UU No. 49/2009 menentukan :

  1. Dalam memeriksa dan memutusrus bertanggungjawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.
  2. Penetapan dan putusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

 

  1. Baracara dikenakan biaya.

Pada azasnya, beracara perdata dikenakan biaya, yaitu panitera, pemanggilan-pemanggilan, pemberitahuan-pemberitahuan dan bermaterai. Mereka yang tidak mampu (miskin) dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk beracara dengan cuma-Cuma.

Sebagaimana diatur dalam dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48/2009, pasal 145 ayat (4), pasal 192, pasal 194 RBg, pasal 121 ayat (4), pasal 182, pasal 183 HIR. Biaya perkara ini dipakai untuk: biaya kepaniteraan, biaya panggilan, biaya pemberitahuan, biaya materai, dan lain-lain biaya yang memang diperlukan seprti misalnya biaya pemeriksaan setempat.

 

  1. Peradilan diselenggarakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Asas ini tercantum dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48/2009.Sarwono menekankan pada kata “sederhana” dan “cepat”. Apabila “sederhana” dan “cepat” sudah dapat diterapkan melalui tidakan teknis-konkrit persidangan maka biaya yang akan dikeluarkan oleh para pihak akan semakin ringan.

Yang dimaksud dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan adalah hakim dalam mengadili suatu perkara harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan perkara dalam tempo yang tidak terlalu lama (Sarwono, 2011: 23 – 24). H.Zainal Asikin menjelaskan ketiga kata itu sebagai antara lain sebagai berikut : Yang dimaksud dengan sederhana adalah acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cepat menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut larut yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya. Sedangkan, biaya ringan maksudnya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat (H Zainal Asikin, 2015: 14).

 

Demikian asas-asas hukum acara perdata, sedangkan; pengertian hukum acara perdata.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply