bentuk bentuk putusan hakimBentuk Putusan Hakim – Memang tidak mudah bagi hakim untuk membuat putusan, karena sebagaimana pendapat dari Gustav Radbruch yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, idealnya putusan harus memuat idee des recht, yang meliputi 3 unsur yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit).[1] Ketiga unsur tersebut semestinya oleh hakim harus dipertimbangkan dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan.[2]

 

Menurut Sudikno Mertokusumo, mengatakan bahwa :

“Ketiga unsur itu seberapa dapat harus ada dalam putusan secara proporsional, yaitu kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Itu adalah idealnya. Akan tetapi di dalam praktiknya jarang terdapat putusan yang mengandung tiga unsur itu secara proporsional. Kalau tidak dapat diusahakan kehadirannya secara proporsional, maka paling tidak ketiga faktor itu seyogyanya ada dalam putusan. Tidak jarang terjadi kepastian hukum bertentangan dengan keadilan. “Hukumnya demikian bunyinya, maka harus dijalankan (kepastian hukum)”, tetapi kalau dijalankan dalam keadaan tertentu akan dirasakan tidak adil (lex dura sed tamen scripta : hukum itu kejam tetapi demikianlah bunyinya). Kalau dalam pilihan putusan sampai terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum serta kemanfaatan, maka keadilannyalah yang harus didahulukan”.[3]

 

Di dalam Pasal 12 pada Rancangan KUHP Nasional tahun 2008, dijelaskan bahwa : ”Dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”. Adapun penjelasan dari Pasal ini, sebagaimana disusun oleh Prof. Roeslan Saleh yang selanjutnya dikutip oleh Mardjono Reksodiputro, adalah :[4]

 

”Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka semakin besar pula kemungkinannya aspek keadilan akan terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada kejadian konkrit. Apabila dalam penerapannya dalam kejadian konkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin harus mengutamakan keadilan diatas kepastian hukum”.

 

Bentuk-Bentuk Putusan Hakim

Adapun mengenai bentuk putusan yang dapat dijatuhkan oleh hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 191 dan Pasal 193 KUHAP, ada 3 (tiga) macam, yaitu :

 

1. Putusan Bebas

Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Pada asasnya, esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan.[5]

Dakwaan tidak terbukti diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal ini memberi penjelasan bahwa adanya dua alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana akan tetapi dari dua alat bukti yang sah itu hakim juga memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Dakwaan tidak terbukti bahwa apa yang diisyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi, yaitu karena :

  1. Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP, jadi, misalnya hanya ada satu saksi saja, tanpa diteguhkan dengan bukti lain.
  2. Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi hakim tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa, misalnya terdapat dua keterangan saksi, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa.
  3. Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti.

 

2. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

Dasar hukum dari putusan ini dapat dilihat pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

”Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”

Dari bunyi Pasal di 191 ayat (2) KUHAP di atas dapat diartikan bahwasanya pada putusan pelepasan, tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa/ Penuntut Umum memang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi terdakwa tidak dapat dipidana karena perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut bukan merupakan ”perbuatan pidana”, tetapi misalnya termasuk yurisdiksi hukum perdata, hukum adat ataukah hukum dagang.[6]

 

3. Putusan Pemidanaan

Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

“Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

 

Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam Pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.[7] Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1), penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa. Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya.

 

Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa tiada lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam Pasal pidana yang didakwakan.

 

Adapun bentuk putusan pemidanaan yang dapat dijatuhkan oleh hakim, yang diatur di dalam KUHP, terbagi menjadi beberapa macam yaitu :

  1. Pidana pokok, terdiri dari : pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda;
  2. Pidana tambahan, terdiri dari : pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang yang tertentu, pengumuman keputusan hakim.

 

 

[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), op. cit., hlm. 15.

[2] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, op.cit., hlm.6.

[3] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), op. cit., hlm. 79.

[4] Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, cet. 1, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 2009, hlm. 321.

[5] Lilik Mulyadi, op. cit., hlm.217.

[6] Lilik Mulyadi, op. cit., hlm.224.

[7] M.Yahya Harahap, op.cit., hlm.354.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply