Pedoman Pemidanaan – Selain pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat non yuridis, serta hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pidana, terdapat pula hal-hal lain yang juga menjadi dasar pertimbangan hakim di dalam menjatuhkan putusannya, terutama terkait dengan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, yakni sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 55 pada Bab III Buku I Konsep Rancangan KUHP Baru yang khusus mengatur mengenai pedoman pemidanaan.
Pedoman Pemidanaan Rancangan KUHP
(1) Dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan :
- Kesalahan pembuat tindak pidana;
- Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
- Sikap batin pembuat tindak pidana;
- Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
- Cara melakukan tindak pidana;
- Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
- Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana;
- Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
- Pengaruh tindak pidana terhadap korban/ keluarga korban;
- Pemaafan dari korban dan/ atau keluarganya; dan/ atau;
- Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan;
(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Pasal 55, terutama ayat (1), sebenarnya merupakan suatu daftar yang harus diteliti (check-list) sebelum hakim menjatuhkan putusan. Dalam daftar tersebut memuat hal-hal yang bersifat subyektif yang menyangkut orangnya dan juga hal-hal yang diluar pembuat, sehingga dengan memperhatikan butir-butir tersebut diharapkan penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan. Dapat dikatakan bahwa dengan adanya pedoman pemidanaan (yang diatur dalam Pasal 55 pada Bab III Buku I Konsep Rancangan KUHP Baru) akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dengan kata lain, hal ini akan memudahkan hakim dalam menetapkan ukuran pemidanaan.
Selain yang terdapat di dalam Pasal 55 pada Bab III Buku I Konsep Rancangan KUHP Baru, mengenai hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan juga telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, khususnya Pasal 8 ayat (2). Terkait dengan berat ringannya suatu pidana yang dijatuhkan oleh hakim, J.E. Sahetapy mengatakan :[1]
”Patutlah diingat bahwa masalah berat ringan atau takaran pidana sangat erat bertautan dengan konsep penilaian yang hendak diberikan terhadap kejahatan atau jenis kejahatan yang tertentu. In concrete lazimnya takaran atau berat ringannya pidana dikaitkan dengan sikap penjahat selama ia diadili. Selain dari itu takaran tersebut dipengaruhi juga oleh hal-hal lain, seperti apakah ia mempersulit jalannya sidang, dan sebagainya. Ada pula beberapa hal lain yang tampaknya dilupakan, seperti realitas kehidupan sosial, sepak terjang hidupnya, sifat, bentuk, dan cara kejahatan yang dilaksanakannya serta juga bagaimana skala nilai-nilai sosial masyarakat yang bersangkutan.”
Dari pendapat J.E. Sahetapy di atas, dapat diketahui bahwasanya untuk menentukan berat ringannya pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap seorang pelaku kejahatan maka hal itu sangat berkaitan dengan sikap dari pelaku kejahatan tersebut selama menjalani proses persidangan. Seperti misalnya apabila selama persidangan si pelaku mempersulit persidangan dengan cara memberikan keterangan yang berbelit-belit dan kadang tidak mengakui perbuatannya, maka hakim bisa saja menjatuhkan pidana yang berat kepada pelaku kejahatan tersebut.
Adanya hal-hal yang bersifat non yuridis, seperti misalnya kondisi diri dari pelaku kejahatan (apakah ia berasal dari keluarga kaya atau miskin), dan juga cara kejahatan yang dilakukannya (apakah ia melakukan kejahatan itu karena terpaksa atau karena memang sudah menjadi kerjanya sehari-hari), juga menjadi pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Terhadap pelaku pidana yang melakukan kejahatan dikarenakan keterpaksaan, yang mana biasanya pelaku berasal dari keluarga miskin yang hidup dalam masyarakat yang miskin pula, pidana atau hukuman yang dijatuhkan oleh hakim jelasnya berbeda dan bisa jadi lebih ringan dibanding dengan pelaku pidana yang memang sudah sering kali melakukan kejahatan.
[1] J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Setara
Press, Malang , 2009, hlm. 180.